, APAC
Anannya Bhattacharjee, International Coordinator for Asia Floor Wage Alliance (AFWA).

Praktik kerja informal di industri garmen berisiko terhadap hak pekerja dan reputasi brand

Brand-brand diimbau mengadopsi perjanjian yang mengikat dan menegakkan standar hak asasi manusia di seluruh rantai pasok mereka.

Praktik kerja informal di industri garmen membahayakan hak-hak pekerja dan keberlanjutan, dan bisa mencoreng reputasi brand, kata Anannya Bhattacharjee, Koordinator Internasional untuk Asia Floor Wage Alliance (AFWA).

"Brand-brand yang meraup keuntungan besar dengan biaya rendah yang mengorbankan hak asasi manusia, berada dalam bahaya risiko reputasi," kata  Bhattacharyaji kepada Retail Asia.

Dia menekankan brand yang terlibat dalam praktik semacam itu berisiko mengalami kerusakan reputasi yang parah. Dia menunjukkan bahwa brand-brand ini sering kali memprioritaskan keuntungan daripada hak asasi manusia, yang mengarah pada model bisnis yang tidak berkelanjutan dan praktik produksi yang boros yang memperburuk krisis iklim.

Bhattacharyaji menyoroti kekerasan berbasis gender (GBV) dan pelecehan yang dihadapi oleh pekerja perempuan. Dia menggambarkan bagaimana praktik semacam itu, mulai dari pelecehan verbal hingga kekerasan fisik dan bahkan pembunuhan dalam kasus ekstrim, didukung oleh faktor-faktor sistemik di dalam lingkungan pabrik dan praktik industri yang lebih luas.

Dia mencatat bahwa pekerjaan informal membuat pekerja rentan, tanpa perlindungan hukum dan menghadapi risiko yang lebih tinggi.

Bhattacharyaji juga mengutip contoh di mana pekerja, terutama perempuan, mengalami pencurian upah dan kondisi kerja yang tidak aman tanpa adanya jalan keluar,serta merasa takut akan pembalasan jika melaporkan penyalahgunaan.

Merombak model bisnis

Bhattacharyaji menyerukan perombakan mendasar terhadap model bisnis saat ini di industri garmen. Dia mendesak brand untuk memprioritaskan kesejahteraan pekerja bersamaan dengan profitabilitas dan mengadvokasi regulasi yang lebih ketat untuk membuat brand bertanggung jawab atas praktik mereka.

"Model bisnis rantai pasokan global produksi garmen saat ini harus berubah," katanya. "Mereka didasarkan pada pandangan usang tentang hubungan antara bisnis yang baik dan kesejahteraan pekerja, mereka perlu memperbarui pandangan mereka bahwa bisnis yang baik juga memerlukan kesejahteraan pekerja."

Bhattacharyaji mengaitkan faktor-faktor yang mendorong pekerjaan informal di seluruh Asia dengan motif keuntungan yang didorong oleh brand  global. Dia mengkritik brand karena memanfaatkan celah dalam undang-undang ketenagakerjaan untuk mengurangi biaya dan mempertahankan kendali sepihak atas rantai pasokan, sering kali dengan mengorbankan hak dan kesejahteraan pekerja.

"Brand-brand menghasilkan keuntungan besar dari pembelian kembali saham sementara pekerja menghadapi krisis besar," katanya. "Jadi praktik pembelian oleh brand mendorong informalitas, dan kita memerlukan regulasi hukum dan mengikat terhadap brand dalam rantai pasokan global."

Seruan untuk bertindak

Untuk mengatasi GBV di tingkat pabrik, Bhattacharyaji mendesak brand-brand untuk mengadopsi perjanjian yang mengikat dan menegakkan standar hak asasi manusia di seluruh rantai pasok mereka untuk melindungi pekerja dan memastikan praktik kerja yang adil.

Para peritel dan brand harus mengadopsi model bisnis yang memprioritaskan hak asasi manusia, mengikuti prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia dan mengatasi dampak dari praktik mereka.

Ini termasuk melakukan uji tuntas untuk mengurangi dampak buruk, mematuhi hak-hak dasar pekerja, dan mematuhi standar internasional seperti Konvensi ILO 190 dan Rekomendasi 206.

Dia mengatakan bahwa mereka harus menandatangani perjanjian yang mengikat dengan buruh, seperti perjanjian Lesotho dan Dindigul tentang GBV, dengan mekanisme pengaduan yang dibuat bersama.

Selain itu, brand harus mewajibkan adanya kontrak tertulis antara pengusaha dan pekerja untuk menetapkan ketentuan dan perlindungan yang jelas, memandang ketiadaan kontrak semacam itu sebagai faktor risiko selama proses uji tuntas.

Lebih lanjut, brand didorong untuk mendasarkan penetapan harga produk mereka pada biaya tenaga kerja yang mencakup upah legal, tunjangan, dan standar etis, bergerak menuju memastikan upah layak bagi pekerja dalam rantai pasokan mereka.

Kolaborasi dengan serikat pekerja dan kolektif pekerja juga dianggap penting, dan brand harus mempertimbangkan ketidakhadiran kemitraan semacam itu sebagai risiko dalam proses uji tuntas mereka.

"Model bisnis harus berubah, dan kekuatan korporat yang tidak diatur dari merek dan rantai pasokan harus berubah," kata Bhattacharyaji.

Dear Me Beauty berencana membuka flagship store

Store ini dapat menjadi fondasi bagi pertumbuhan pasar yang lebih luas.

Kawan Lama Indonesia mengaburkan batas antara belanja online dan offline

Pengunjung  platform e-commerce grup, Ruparupa.

MR.DIY berekspansi jauh ke pinggiran kota Indonesia

Perusahaan telah tumbuh menjadi lebih dari 850 cabang hanya dalam tujuh tahun.

Semakin banyak peritel Asia Tenggara yang melakukan siaran langsung

Sosial media tidak lagi sekedar tempat berbagi selfie; kini juga menjelma tempat belanja.

Ever Bilena asal Filipina memanfaatkan momentum pertumbuhan terbaru di industri kosmetik

Brand ini mengandalkan Generasi Z di tengah lanskap produk kecantikan yang berkembang pesat.

Lazada Filipina fokus memenuhi semua kebutuhan e-shopper

Shopper membeli berbagai barang dari kebutuhan sehari-hari hingga perhiasan mewah secara daring.

Peritel harus kembali meraih kepercayaan konsumen yang berhemat

Penjual perlu beradaptasi dan lebih melibatkan customer untuk mencegah penurunan penjualan.

Hong Kong K11 MUSEA menjembatani seni, budaya, dan ritel

Pengunjung menemukan brand papan atas dan karya seni setara museum di landmark ritel-budaya ini.

Toys ‘R’ Us Asia mengandalkan ‘Kidult’ untuk mendorong penjualan mainan

Remaja dan orang dewasa berusia 12 tahun ke atas semakin banyak membeli brand mainan ikonik dari era 80-an dan 90-an.