
Kreator media sosial memengaruhi pembelian produk kesehatan di Asia Tenggara
Lebih dari setengah konsumen menemukan produk kesehatan melalui media sosial.
Konsumen di Asia Tenggara semakin banyak mencari saran kesehatan dari influencer di TikTok, termasuk rekomendasi produk wellness yang layak dibeli, menurut perusahaan kesehatan konsumen asal Inggris, Haleon Plc.
Lebih dari setengah atau 53% konsumen di kawasan ini kini menemukan produk terkait kesehatan melalui influencer di platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Facebook, kata Ritesh Pandey, General Manager Haleon untuk Asia Tenggara dan Taiwan kepada Retail Asia.
“Influencer adalah pakar baru,” kata Pandey melalui Zoom. “Dulu orang pergi ke dokter atau apoteker dan bertanya: ‘Saya punya keluhan ini. Apa yang harus saya lakukan?’ Sekarang, konsumen mencarinya secara online, di mana mereka melihat dan mendengar video tentang apa yang paling sesuai untuk mereka.”
Meskipun dokter dan apoteker tetap memiliki peran penting, media sosial kini muncul sebagai bagian utama dalam proses pengambilan keputusan di tahap awal, tambahnya.
Pandey mengatakan bahwa pergeseran ini sejalan dengan tren regional yang lebih luas, di mana kesehatan dan wellness sehari-hari telah menjadi prioritas.
Namun, mengambil saran kesehatan dari influencer bisa berisiko. Menurut American Psychological Association, banjirnya informasi kesehatan yang saling bertentangan telah membuat pengguna media sosial terutama anak muda yang sering terpapar pandangan anti-science menjadi rentan terhadap informasi yang menyesatkan.
“Dan meskipun ada keinginan tulus untuk menemukan kebenaran, orang sering kali justru menemukan lebih banyak ketidakakuratan ketika mencoba memverifikasi apa yang mereka baca secara online,” tulis asosiasi tersebut dalam sebuah unggahan blog tahun lalu.
Sekitar 15% pembelian produk kesehatan konsumen di kawasan ini kini dilakukan secara online, dengan produk yang paling banyak diminati mencakup vitamin, mineral dan suplemen, serta perawatan mulut, kata Pandey, mengutip data internal.
Ia menambahkan bahwa pertumbuhan social commerce dan penemuan produk yang dipicu oleh influencer memainkan peran penting dalam transisi ini.
Tren ini paling terlihat di pasar berkembang Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, dan Indonesia, di mana lebih dari 60% populasi berusia di bawah 35 tahun.
“Konsumen ini berinteraksi dengan brand, key opinion leader, dan influencer secara online untuk memahami bagaimana mereka bisa mendapatkan solusi kesehatan yang dipersonalisasi,” katanya.
Pandey mencatat bahwa 85% orang Asia Tenggara berupaya meningkatkan kesehatan sehari-hari mereka. Angka ini merupakan 10 poin persentase lebih tinggi dari rata-rata global.
Sementara itu, konsumen yang lebih tua di pasar seperti Singapura, Taiwan, dan Thailand mencari produk yang dapat membantu mereka bergerak lebih bebas, memperkuat tulang, dan meningkatkan daya ingat.
Di banyak negara di kawasan ini, hanya terdapat 0,6 hingga 2,8 dokter untuk setiap 1.000 orang, kata Pandey.
Akibatnya, masyarakat mengandalkan obat bebas agar tidak perlu pergi ke klinik.
Pandey mengatakan sebagian besar produk kesehatan konsumen masih belum dimanfaatkan secara optimal. Misalnya, meskipun 98% konsumen mengalami nyeri, hanya 50% yang mengobatinya. Dan meskipun 85% mengaku memiliki gigi sensitif, hanya 8% yang mencari pengobatan, dan kurang dari 10% rumah tangga mengonsumsi suplemen.
Haleon—produsen Panadol, Sensodyne, Caltrate, dan Centrum—mencatatkan pendapatan sebesar US$1,98 miliar (£1,48 miliar) pada 2024, naik dari US$1,49 miliar (£1,11 miliar) pada tahun sebelumnya.
Haleon menargetkan untuk memperluas akses terhadap produknya dan menjangkau satu miliar konsumen tambahan secara global pada 2030.