, Southeast Asia
494 views
Shutterstock photo

Lebih banyak peritel di Asia Tenggara melirik kasir self-checkout

Shopper muda dan penetrasi smartphone yang tinggi mendorong tren ini.

Lebih banyak peritel di Asia Tenggara yang berinvestasi dalam kasir self-checkout untuk merampingkan operasi, sebuah tren yang didorong oleh konsumen muda yang menginginkan pengalaman belanja yang lebih cepat dan lebih mandiri, selain kekurangan tenaga kerja dan meningkatnya kekhawatiran tentang upah yang lebih tinggi.

Sekitar enam dari sepuluh konsumen lebih cenderung berbelanja di toko yang memiliki stasiun kasir self-checkout karena membuat belanja menjadi lebih nyaman, terutama untuk pembelian kecil, kata Sun Jo Ling, senior trend analyst di perusahaan riset konsumen GWI kepada Retail Asia, mengutip studi internal.

Permintaan ini sangat kuat di Asia Tenggara, di mana konsumen 35% lebih cenderung daripada rata-rata global untuk lebih menyukai pengalaman belanja yang lebih imersif. Tren ini sebagian besar didorong oleh konsumen muda di kawasan ini dan penetrasi smartphone yang tinggi, tambahnya.

Di sisi lain, peritel besar di AS mulai mundur dari layanan self-checkout, dengan Five Below dan Dollar General kembali menggunakan kasir manusia karena kekhawatiran industri yang sudah lama terkait dengan kehilangan inventaris, lapor NBC News pada Juli 2024.

Sun mengatakan lebih dari sepertiga konsumen Asia-Pasifik tertarik pada solusi kasir yang lebih cepat, sementara lebih dari seperempat mencari teknologi yang menyediakan informasi produk yang lebih baik. Selain kasir self-checkout, peritel juga memanfaatkan AI dan analitik data untuk meningkatkan pengalaman berbelanja.

“Pengalaman berbelanja yang benar-benar tanpa gesekan mengintegrasikan saluran digital dan fisik secara mulus, menawarkan layanan yang dipersonalisasi dan opsi pemenuhan yang efisien,” kata Jane Cheung, global research leader di IBM Institute for Business Value, kepada Retail Asia.

Teknologi yang didorong oleh AI seperti manajemen inventaris real-time dan asisten virtual memungkinkan peritel untuk melayani shopper dengan lebih baik dengan memastikan tingkat stok akurat dan memberikan rekomendasi yang disesuaikan, tambahnya.

Lebih dari setengah konsumen di dunia tertarik pada peningkatan berbelanja yang didorong oleh AI, dengan 55% tertarik pada asisten virtual dan 59% terbuka pada aplikasi AI, kata Cheung, mengutip studi IBM tahun lalu. Peritel, pada gilirannya, diperkirakan akan mengalokasikan 3,32% dari pendapatan mereka untuk AI tahun ini.

“Konsumen yang lebih memilih kasir self-chekout lebih cenderung berinteraksi dengan titik sentuh digital, yang menunjukkan keterkaitan antara pengalaman ritel online dan offline,” kata Sun.

Dia mencatat bahwa adopsi teknologi bukanlah hambatan signifikan, dengan 70% konsumen merasa kasir self-checkout mudah digunakan. Tantangan terletak pada persepsi bahwa shopper  yang lebih tua lebih cenderung mempertahankan layanan ritel tradisional.

Belanja otonom juga bergantung pada faktor budaya. Sun mengutip perbedaan mencolok dalam preferensi di kawasan Asia-Pasifik. Di pasar seperti Jepang dan Hong Kong, lebih dari setengah konsumen lebih memilih berbelanja di toko fisik, mencerminkan budaya ritel yang sudah mendarah daging di kawasan ini.

Di Cina dan Korea Selatan, belanja online jauh lebih dominan, dengan tujuh dari sepuluh konsumen lebih memilih kenyamanan mobile commerce dan sistem pembayaran digital.

Cheung mengatakan 76% konsumen Jepang lebih sering berbelanja di toko fisik dibandingkan dengan 52% konsumen Korea Selatan, sehingga peritel harus mengembangkan kedua saluran digital dan fisik.

Di toko fisik, teknologi dapat meningkatkan interaksi manusia, bukan menggantikannya. Alat seperti aplikasi mobile untuk kasir self-checkout dan bantuan real-time dapat merampingkan operasi, sementara memungkinkan staf fokus pada layanan customer yang dipersonalisasi, tambahnya.

Chung mengharapkan pengalaman belanja yang mulus akan berkembang seiring peritel semakin mendalami investasi AI mereka. “Peritel yang berinvestasi dalam teknologi ini akan lebih siap untuk memenuhi harapan konsumen yang berkembang dan membedakan diri mereka di pasar yang kompetitif.”
 

Swarovski menguasai TikTok untuk perluas skala luxury di kalangan Gen Z

Produsen Kristal asal Austria ini bekerja sama dengan influencer untuk menjangkau pasar Singapura.

Dear Me Beauty berencana membuka flagship store

Store ini dapat menjadi fondasi bagi pertumbuhan pasar yang lebih luas.

Turis dari Shenzhen mendorong permintaan ritel di Hong Kong

Kebijakan masuk yang lebih longgar menguntungkan sektor-sektor terkait pariwisata.

Brand Thailand beralih ke Influencer dalam membuat hype dan meningkatkan profit

Bisnis lokal berada di bawah tekanan untuk bersaing dengan Temu, Shein, dan TikTok Shop.

Lebih banyak peritel di Asia Tenggara melirik kasir self-checkout

Shopper muda dan penetrasi smartphone yang tinggi mendorong tren ini.

‘K-beauty’ menguasai dunia skincare

Produk dengan bahan alami Korea sangat diminati di Cina dan AS.

H&M mempekerjakan influencer lokal untuk memperkuat pemasaran di Asia

Peritel asal Swedia ini memanfaatkan pengaruh K-pop, yang pengaruhnya terhadap mode global tak terbantahkan.

Kafe dalam toko di Singapura mungkin segera mencapai titik jenuh

Jika setiap peritel memiliki kafe sendiri, maka itu bisa jadi tidak lagi istimewa.

Industri kecantikan Jepang melawan produk palsu online dengan teknologi blockchain

Kemasan pintar membantu memastikan konsumen membeli produk asli.