Bagaimana peritel menggunakan AI dalam mengubah pengalaman berbelanja?
Satu dari dua responden menyatakan keinginan untuk memiliki 'klon' AI yang mengelola tugas-tugas mereka, termasuk berbelanja.
Konsumen semakin mempercayai asisten AI canggih untuk mengelola bagian-bagian penting dari tugas harian mereka, termasuk berbelanja. Brand yang gagal mengenali tren ini berisiko kehilangan peluang dan tertinggal dalam lanskap digital.
Sebuah studi global oleh Dentsu mengungkapkan pada 2035, 49% konsumen menginginkan 'klon' AI untuk menangani tugas berbelanja, administrasi, dan komunikasi mereka. Sejak peluncuran ChatGPT pada November 2022, ada lonjakan penerimaan dan ketersediaan aplikasi AI yang berinteraksi dengan pelanggan. Seiring tren ini meningkat, bisnis beradaptasi untuk melayani demografi baru: konsumen yang mengandalkan AI.
Alih-alih menargetkan konsumen tradisional secara langsung, brand sekarang menyesuaikan penawaran mereka untuk menarik pengambil keputusan yang didorong oleh AI. Pergeseran ini mewakili perubahan besar di pasar, di mana AI memfasilitasi transaksi dan mengurangi kebutuhan akan intervensi manusia.
"Kami melihat masa depan di mana konsumen semakin merasa nyaman dengan membiarkan teknologi dan khususnya asisten AI mengambil alih bagian besar dari aktivitas dalam berbagai aspek kehidupan mereka," kata laporan tersebut.
Melampaui algoritma
AI juga diperkirakan akan merevolusi keterlibatan manusia dengan budaya, alam, dan pertemanan.. Melalui pengalaman imersif yang difasilitasi oleh AI, individu diharapkan mendapatkan akses yang belum pernah terjadi sebelumnya ke berbagai budaya dan dunia, yang mendorong pemahaman dan konektivitas yang lebih dalam di seluruh batas negara.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa seiring orang semakin nyaman mengandalkan AI, maka AI akan secara bertahap mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Hal ini berpotensi menggantikan perantara manusia sepenuhnya. Pergeseran menuju otomatisasi ini, yang dikenal sebagai 'Internet of Things', berarti mesin akan berkolaborasi secara otonom dan menangani tugas-tugas seperti memesan ulang persediaan dan menjadwalkan service appointment pada 2035.
Alih-alih memandang AI sebagai persaingan pekerjaan, AI akan dilihat sebagai rekan kerja kolaboratif.
"Merek akan perlu menjalin aliansi algoritmik dengan sistem AI sebagai sarana untuk mengakses dan mempengaruhi banyak titik keputusan konsumen," catat laporan tersebut.
Dampak pada belanja dan lainnya
Mikey Vu, partner di praktik Ritel Bain & Company, menekankan dampak AI generatif pada ritel, menyamakannya dengan transformasi cepat yang terlihat dengan smartphone dan internet.
Dia mengatakan bahwa peritelharus meningkatkan investasi AI untuk memenuhi ekspektasi pembeli dan fokus pada pengembalian investasi.
Alat AI seperti asisten belanja dan pencarian yang dipersonalisasi diperkirakan dapat meningkatkan pendapatan sebesar lima hingga 10%. Kepercayaan pada AI untuk rekomendasi belanja yang dipersonalisasi juga sangat tinggi di antara konsumen.
Selain itu, integrasi AI dalam strategi pemasaran telah menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan potensi peningkatan produktivitas sebesar 30 hingga 40%. Laporan tersebut menyoroti potensi AI untuk meningkatkan produktivitas hingga 25% di berbagai peran ritel melalui otomatisasi.
Untuk memanfaatkan AI secara efektif, para peritel disarankan fokus pada manajemen perubahan, demokratisasi, dan pengembangan talenta. Ini melibatkan merancang ulang peran pekerjaan, memastikan aksesibilitas alat AI untuk semua karyawan, dan upaya peningkatan keterampilan yang berkelanjutan.
Perusahaan inovatif seperti KFC Vietnam sudah memanfaatkan rekomendasi personal berbasis AI untuk menyederhanakan operasional dan meningkatkan pengalaman pelanggan di seluruh omnichannel. Di Retail Asia Forum baru-baru ini di Kota Ho Chi Minh, Sibojyoti Chatterjee, general director KFC Vietnam menyoroti dampak AI pada chatbot, pemasaran, dan analisis data, dengan menekankan potensinya dalam interaksi personal, optimasi rantai pasokan, dan manajemen inventaris.
Meskipun menghadapi tantangan seperti bias dan masalah privasi, perusahaan di berbagai industri, termasuk raksasa ritel seperti Sephora, Nike, Starbucks, dan Amazon, sedang memanfaatkan teknologi AI untuk interaksi personal, optimasi rantai pasokan, dan manajemen inventaris.
Imperatif AI
Dalam wawancara sebelumnya dengan Retail Asia, Anson Bailey, head of consumer and retail di KPMG Asia Pasifik, memperingatkan bahwa jika tidak mengikuti adopsi AI, para peritel dapat kehilangan pangsa pasar, terutama dalam pemasaran di mana penerapan awal fitur berbasis AI seperti chatbot dapat meningkatkan traffic online secara signifikan. Selain itu, pengecer berisiko kehilangan pangsa pasar ke pesaing jika mereka tidak memanfaatkan AI untuk machine learning dan analitik dalam mendapatkan wawasan yang menyelaraskan penawaran produk dengan pengalaman pelanggan.
"Peritel saat ini tidak bisa mengabaikan AI atau duduk diam, sementara pesaing mereka dan pemain ekonomi baru mendapatkan momentum di pasar," katanya.
Pertanyaan untuk ekspert:
1. Bagaimana sebaiknya peritel menerapkan integrasi 'klon' AI untuk mengelola tugas belanja? Perubahan apa yang Anda lihat dalam dinamika ritel dengan meningkatnya peran AI?
2. Apa perubahan yang Anda prediksi dalam dinamika ritel dengan meningkatnya peran AI?