Apa yang dibutuhkan brand baru untuk sukses di pasar Asia
Sensitivitas harga tetap menjadi faktor kritis terutama dalam kategori penting seperti makanan dan minuman.
MEMPERKENALKAN produk baru di pasar Asia datang dengan berbagai rintangan, dengan penetapan harga yang kompetitif menjadi tantangan utama.
“Penetapan harga yang kompetitif sering kali menjadi tantangan. Perusahaan besar sering kali memiliki sumber daya untuk mempertahankan harga rendah bagi penawaran baru mereka, sehingga memenuhi permintaan konsumen secara efektif,” kata Frida Polyak, innovation consultation di Euromonitor International, kepada Retail Asia.
Namun, dia menunjukkan bahwa inovator kecil dan independen mungkin kesulitan bersaing dalam hal harga, yang berdampak pada kemampuan mereka untuk berkembang di pasar.
Polyak mencatat peran penting biaya dalam keberlanjutan brand, terutama di kawasan yang sensitif terhadap harga seperti Asia, di mana 40% konsumen di Singapura memprioritaskan keterjangkauan saat membeli makanan dan minuman.
Misalnya, disparitas harga antara brand mapan dan peserta baru terlihat jelas dalam kategori Teh Siap Minum (RTD) di Singapura. Haus Brew, dengan penawaran inovatifnya, dihargai $1.84, berbeda jauh dengan No Ordinary Ice Tea, yang awalnya dihargai $3.19, menyoroti dilema harga yang dihadapi produk-produk baru.
Perputaran brand
Menurut analisis Euromonitor International, sektor FMCG mengalami perputaran merek yang signifikan, dengan hampir sepertiga dari yang diperkenalkan pada 2022 sudah dihentikan pada akhir 2023.
Brand-brand yang diluncurkan tahun lalu juga menghadapi kemungkinan bertahan jangka panjang kurang dari 60%.
Dia mengatributkan tren ini pada sifat pasar yang volatil saat ini, di mana brand baru sering kali berjuang untuk bertahan di tengah perhatian konsumen yang singkat dan permintaan konstan akan hal baru.
Mengutip platform Inovasi Passport Euromonitor, dia mengatakan bahwa dalam sektor makanan dan minuman, hingga 40% brand baru mungkin gagal dalam dua tahun pertama mereka.
Konsultan inovasi menekankan perlunya siklus hidup produk yang lebih pendek untuk terus melibatkan konsumen dengan penawaran segar.
Selain itu, Polyak mengatakan bahwa konsumen mengeluarkan uang dengan hati-hati bahkan ketika membeli kebutuhan sehari-hari seperti bahan makanan.
Faktor rasa
Dia juga mengutip bahwa sekitar 23% dari konsumen global dan 17% dari konsumen Singapura bersedia membayar lebih untuk makanan dan minuman dengan rasa superior.
“Ini sangat sederhana jika camilan atau minuman tidak enak, maka tidak akan berhasil. Kami melihat bahwa konsumen bahkan bersedia mengeluarkan lebih banyak untuk rasa yang lebih baik,” kata Polyak.
Dia menekankan bahwa rasa baru dan inovatif berhasil menarik minat konsumen, dengan tren menuju pilihan berani dan inovatif. Hal ini diilustrasikan oleh penawaran terbaru Coca Cola, Coke Zero K-Wave, yang terinspirasi dari buah-buahan Korea, dengan cita rasa buah yang khas.
Ketersediaan online
Sementara itu, digitalisasi dan e-commerce telah menjadi bagian integral dari keberhasilan peluncuran produk baru di pasar Asia.
Dengan pergeseran signifikan menuju belanja online, terutama setelah pandemi, produk-produk inovatif semakin banyak muncul di ruang digital.
Di Asia, pertumbuhan eksponensial e-commerce ritel, yang diproyeksikan untuk terus berlanjut setelah pandemi, menekankan pentingnya ketersediaan online untuk produk FMCG (barang konsumsi cepat).
Di pasar seperti Thailand, di mana 55% konsumen digital lebih suka membeli produk makanan dan minuman secara online melalui ponsel mereka, saluran digital sangat penting untuk mencapai konsumen secara efektif.