, China
569 views
Source: Magda Ehlers (Pexels)

Perusahaan fesyen di Cina memacu pertumbuhan dengan model direct-to-consumer

PwC mengungkapkan bagaimana model DTC memanfaatkan teknologi digital untuk memberikan produk, layanan, dan pengalaman yang lebih dipersonalisasi kepada konsumen di era baru.

Sebuah brand pakaian di Cina menciptakan gaya hidup modis dengan menggabungkan kopi, kustomisasi, dan ritel pakaian dalam satu “experience store”, yang membuatnya menghasilkan pertumbuhan penjualan dua digit dari penjualan online hanya dalam waktu satu bulan. Perusahaan konsultan manajemen PwC mengutip ini sebagai contoh model direct-to-consumer (DTC) yang memungkinkan brand meningkatkan kinerja online melalui toko offline.

Jerry Hua, partner for consumer market di PwC Strategy & Cina, mencatat bahwa "experience store" brand tersebut ditampilkan di lebih dari 300 postingan, disukai di platform sosial lebih dari 10.000 kali, dan bahkan menerima pertanyaan dari pembeli di luar Beijing.

"Data penjualan menunjukkan pertumbuhan dua digit toko online di bulan pertama, dan terus tumbuh di bulan-bulan berikutnya," kata Hua kepada Retail Asia.

“Kesuksesan toko ini menunjukkan bagaimana toko offline sangat berharga di area sekitarnya, serta bagaimana toko offline meningkatkan eksposur online dan konversi e-commerce karena generasi muda lebih memilih belanja online,” kata dia menambahkan.

Sementara itu, brand  mainan desainer mengadopsi model DTC dengan mendesain ulang sistem keanggotaannya dalam mendorong pembelian kembali. Hua mengatakan merek tersebut dimulai dengan akun resmi WeChat, program mini, etalase, dan media sosial untuk mengejar keterpaparan dan membangun komunitas online. Kemudian membentuk departemen operasional komunitas pada 2021.

“Dengan lebih dari 800 grup online, ini mengumpulkan lebih dari 100.000 pecinta mainan desainer yang berpikiran sama, membentuk landasan untuk akuisisi dan retensi pelanggan. Oleh karena itu, jumlah anggota brand tersebut telah meningkat puluhan juta sejak 2020, ”kata Hua, mencatat bahwa brand tersebut hanya memiliki sekitar 300.000 anggota pada 2017.

“Pada 2021, anggota menyumbangkan 92% dari total penjualan, dengan tingkat pembelian kembali sebesar 56%,” katanya.

Model DTC

Model, yang memanfaatkan teknologi digital, diuntungkan dari model ritel click-and-mortar di mana toko offline berfungsi sebagai gudang dan pusat pengiriman sementara toko online digunakan untuk menerima pesanan.

Model DTC memungkinkan brand untuk mengembangkan hubungan yang lebih dalam dengan konsumen, di mana model ini memungkinkan untuk dapat mengumpulkan wawasan dalam menciptakan produk, layanan, dan pengalaman yang lebih dipersonalisasi.  Hal ini akan meningkatkan perolehan konsumen, konversi, retensi, dan hasil advokasi untuk brand secara efisien.

Model DTC juga sangat cocok dengan pasar Cina yang luas dengan sistem distribusi yang kompleks, di mana para pelaku fesyen biasanya bergantung pada distributor regional dalam menjangkau konsumen.

“Sementara [model tradisional] mengurangi inventaris dan investasi yang diperlukan untuk memperluas jaringan penjualan, model ini memperlihatkan kelemahan seperti lambatnya respons terhadap persaingan pasar dan perubahan konsumsi, proses panjang untuk meluncurkan produk baru, kerusakan brand karena memburu hasil jangka pendek, terminal price yang membengkak  dan ketidakseimbangan dalam persepsi nilai konsumen,” kata Hua kepada Retail Asia.

Dengan user generated content, seperti postingan media sosial tentang toko yang experience-driven-store, brand yang berlokasi di kota tingkat pertama atau kedua dapat menarik pembeli dari kota lain yang tidak dapat mereka cakup. 

Ini memberi brand lebih banyak peluang untuk meningkatkan konversi pengguna di platform e-commerce, tambahnya. Selain itu, brand dapat menciptakan interaksi, dan aktivitas berdasarkan permintaan pengguna, membuka jalan untuk menarik pelanggan atau pembelian baru melalui rekomendasi pengguna.

Brick-and-mortar store tidak lagi semata-mata untuk penjualan, tetapi juga berfungsi ganda sebagai touchpoint utama yang menawarkan interaksi, pengalaman, layanan bernilai tambah, persepsi digital, dan aplikasi kepada konsumen,” kata Hua.

Pengalaman brand fesyen

Dalam sebuah studi, PwC menganalisis kinerja 19 brand fesyen DTC utama di Cina dan Amerika Utara, yang menunjukkan peningkatan jumlah brand dari sebelumnya, mencapai laba bersih yang tinggi sekaligus mempertahankan pertumbuhan pendapatan yang tinggi.

Studi tersebut menunjukkan bahwa brand yang mengadopsi model DTC mengalami pertumbuhan dua digit baik secara online maupun offline, bahkan ketika operasional brand itui sedang dilanda krisis terkait pandemi.

PwC juga mengamati bahwa saluran dalam model DTC tidak beroperasi secara independen, sebaliknya toko offline justru menggunakan desain digital dan desain yang berpusat pada pengguna dalam meningkatkan pengalaman pelanggan. Pemain DTC Cina juga menikmati retensi konsumen yang tinggi dan mereka melihat jumlah pelanggan yang lebih bersedia untuk membeli kembali.

PwC mengidentifikasi dua karakteristik berbeda dari pemain fesyen Cina dalam memanfaatkan model DTC yaitu strategi produk dan filosofi strategi omnichannel.

Di masa lalu, brand Cina dapat secara dinamis menyesuaikan atau mengadaptasi desain produk baru sesuai dengan permintaan konsumen; sementara yang terakhir, pemain Cina dengan hati-hati membuat penawaran yang berbeda kepada pembeli offline dan online dan memberikan interaksi yang berbeda pada  konsumen.

Ini berlawanan dengan pemain global yang menganggap strategi omnichannel hanya menawarkan pengalaman "order online, pick up in-store".

“Pembeli online adalah segmen konsumen yang sangat berbeda dari pembeli offline di pasar Cina. Pembeli online yang aktif terutama adalah kaum milenial dan Gen-Z yang sama sekali tidak terbiasa mengunjungi toko offline dan lebih memilih pesan antar ke rumah,” kata Hua.

“Para pembelanja online tersebut memiliki informasi yang lebih baik dan mengharapkan produk yang berbeda dengan proposisi brand yang unik,” tutupnya.

KCG menguasai brand positioning untuk segmen premium di Indonesia

Mereka mengadopsi solusi berbasis teknologi terbaru untuk sukses mengelola 92 toko ritel di 20 kota di Indonesia.

Melihat lebih dekat pendekatan digital oleh The Mall Group

Mereka telah memperkenalkan layanan inovatif seperti 'chat and shop' dan 'call to order.

Mengembangkan budaya kolaborasi melalui desain generatif AI

Direktur Kreatif dwp menjawab apa yang akan terjadi selanjutnya bagi desainer dengan integrasi AI dalam arsitektur.

3 pilar yang membentuk masa depan ritel di Asia Tenggara

Peritel didorong memprioritaskan digitalisasi, inisiatif pengalaman, dan keberlanjutan untuk tetap kompetitif.

Bagaimana peritel dapat menyeimbangkan strategi omnichannel dengan preferensi konsumen terhadap toko fisik?

Kurang dari setengah konsumen APAC lebih memilih berbelanja online, tetapi kebanyakan masih bergantung pada toko fisik.

Teknologi dan personalisasi mendorong e-commerce di Indonesia

3 eksekutif ritel membandingkan catatan tentang pertumbuhan pesat e-commerce yang didorong oleh teknologi di Retail Asia Forum.

PT ABC President Indonesia mempromosikan ritel dengan kampanye personalisasi digital

COO Dwi Hatmadji menyampaikan strategi keterlibatan Gen Z dan milenial yang sukses di Retail Asia Forum 2024.

Apa yang dibutuhkan brand baru untuk sukses di pasar Asia

Sensitivitas harga tetap menjadi faktor kritis terutama dalam kategori penting seperti makanan dan minuman.

Mengadopsi ritel hyperlocal di Indonesia

Retail Asia Forum di Jakarta membahas kompleksitas penerapan strategi ritel hyperlocal di negara yang beragam seperti Indonesia.