
Peritel membutuhkan lebih dari sekadar layanan personal untuk bertahan
Konsumen semakin tidak menoleransi pengalaman yang dipersonalisasi secara generik dan tidak autentik.
Personalisasi berbasis AI akan menjadi fokus utama brand-brand di Asia-Pasifik pada 2025. Namun, para peritel harus menghadapi meningkatnya tuntutan konsumen akan keaslian dan relevansi, menurut seorang analis.
“Pada 2025, personalisasi berbasis AI akan mengubah cara kita memahami manusia,” kata Andrea Ng, Direktur Insight Asia-Pasifik yang berbasis di Singapura dari Canvas8, kepada Retail Asia. “AI yang canggih berarti personalisasi tidak lagi sekadar soal rekomendasi yang disesuaikan.”
Konsumen, khususnya di Hong Kong, semakin tidak menoleransi pengalaman pelanggan yang dipersonalisasi secara generik dan tidak autentik, tambahnya. Sembilan dari sepuluh warga Hong Kong menyatakan akan meninggalkan brand yang gagal memberikan pengalaman seperti itu, katanya.
Bagi brand, tantangan terletak pada menciptakan pengalaman pelanggan yang dinamis, responsif, dan menyerupai interaksi manusia.
“Lembaga-lembaga ini akan menjadi titik pusat keterlibatan pelanggan dan inovasi teknologi,” kata Ng. Seiring konsumen yang semakin menginginkan kendali lebih atas interaksi mereka dengan brand, perusahaan harus menawarkan pengalaman yang mulus, memungkinkan personalisasi dan kekuatan pengambilan keputusan yang lebih besar.
Di Filipina, misalnya, platform seperti GCash mengubah sektor perbankan dengan menawarkan layanan keuangan yang mudah diakses dan dapat disesuaikan, kata Ng.
Tren besar lainnya yang harus diadopsi oleh brand adalah pergeseran dari “hyper-convenience” menuju kecepatan, efisiensi, dan kesederhanaan. “Tidak ada gunanya jika tidak efisien, dan kecepatan saja tidak cukup,” katanya. “Orang-orang akan menolak pengalaman yang terasa rumit, meskipun cepat. Jadi, yang terpenting adalah bagaimana brand dapat membuat hidup konsumen lebih mudah, lebih cepat, namun juga lebih sederhana.”
Ng juga mengatakan bahwa “kebebasan personal yang sangat tinggi” akan semakin penting dalam membentuk pilihan dan pola konsumsi. “Orang-orang menolak status quo demi kehidupan yang lebih personal.”
Ia menambahkan bahwa konsumen, terutama Gen Z, akan terus mengutamakan fleksibilitas dalam kehidupan kerja dan pribadi mereka, yang akan memengaruhi keputusan pembelian serta ekspektasi mereka terhadap brand.
Tekanan finansial, termasuk meningkatnya biaya hidup, akan terus membentuk perilaku konsumen.
“Alih-alih panik menghadapi tekanan finansial, orang-orang justru aktif beradaptasi dengan realitas keuangan yang baru,” kata Ng. “Jadi, ini semua tentang pragmatisme keuangan dan kemampuan beradaptasi. Bantu uang mereka bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras.”
Strategi ritel
Di Singapura, lebih dari 90% orang berusia 21 hingga 39 tahun melaporkan terdampak oleh kenaikan harga, mendorong banyak dari mereka untuk menjalani gaya hidup lebih minimalis dan fokus pada ketahanan finansial.
Teknologi juga akan terus memainkan peran penting dalam perilaku konsumen, kata Ng. “Kawasan ini, dalam beberapa hal, selalu cukup unggul, atau setidaknya terbuka dalam mengembangkan industrinya.”
Tujuh dari sepuluh karyawan di kawasan ini menggunakan AI generatif setidaknya sekali seminggu, menunjukkan bahwa konsumen semakin mengandalkan AI untuk mengoptimalkan hidup mereka, katanya, mengutip sebuah studi.
Perutel juga akan menghadapi isu kepercayaan. “Dengan adanya AI, meningkatnya penipuan, dan kemunculan deepfake, orang-orang menjadi lebih waspada dan mencari jaminan serta kepercayaan dari brand.”
Sebuah laporan dari Twilio pada Oktober 2024 menemukan bahwa 56% konsumen di kawasan Asia-Pasifik akan menghindari membeli dari brand yang tidak mereka percayai.
Merek juga perlu menjawab ketegangan antara nilai-nilai idealis konsumen dan keterbatasan praktis. “Orang ingin menjunjung nilai-nilai idealis, tetapi tekanan realistis membuat hal itu sulit dilakukan,” kata Ng. Ia menunjukkan bahwa konsumen mungkin ingin mendukung keberlanjutan, tetapi terhambat oleh kendala finansial.
Lanskap ritel juga diperkirakan akan terus berkembang, dengan pengalaman daring dan luring yang semakin menyatu. “Inovasi teknologi seperti AI dan realitas virtual — ini akan membawa lebih banyak tekstur sensorik kehidupan nyata ke ranah digital juga.”
Di India, industri ritel diproyeksikan mencapai US$2 triliun pada 2032, namun fenomena “ghost malls” menunjukkan bahwa toko fisik harus beradaptasi, kata Ng.
“AI akan memainkan peran yang sangat penting dalam menghidupkan beberapa strategi ini,” katanya, seiring brand mengintegrasikan AI untuk menciptakan pengalaman omnichannel yang mulus.
Sekitar enam dari sepuluh konsumen menginginkan peran AI yang lebih besar dalam pengalaman belanja mereka, sementara 52% menginginkan produk yang lebih dipersonalisasi, menurut data dari IBM.
Salah satu contohnya adalah penggunaan AI oleh IKEA untuk memadukan belanja fisik dan digital, meskipun belum tersedia di Asia. Di Cina, 52% pelaku usaha menggunakan alat AI generatif.
“Langkah untuk mengintegrasikan AI dalam strategi ritel seharusnya tidak terasa terburu-buru seperti perlombaan teknologi tanpa arah,” kata Ng. “Ini harus menjadi adaptasi yang hati-hati dan penuh pertimbangan.”
Lebih lanjut, media sosial akan terus menjadi kekuatan besar dalam membentuk keputusan pembelian pada 2025, katanya. Kampanye influencer virtual berbasis AI akan terus berkembang di Asia dan membentuk cara brand berinteraksi dengan audiens mereka, tambahnya.
Ng mencatat bahwa perusahaan-perusahaan Cina banyak berinvestasi dalam influencer virtual. Di Jepang, IKEA bekerja sama dengan influencer virtual untuk menghadirkan konsep “kebahagiaan di rumah” ke dalam toko, menunjukkan bagaimana sosok digital turut memengaruhi perilaku konsumen.
Di tengah ketidakpastian ekonomi, konsumen kemungkinan akan menyeimbangkan antara kehati-hatian dan kenikmatan, kata Ng. “Terlepas dari ketidakpastian yang terjadi — mulai dari pemutusan kerja hingga tekanan finansial — bukan berarti orang-orang melepaskan kenikmatan hidup.”
Di Korea Selatan, platform belanja gamifikasi membantu konsumen memaksimalkan nilai emosional dan finansial dari pembelian mereka. Aplikasi belanja Naver, salah satu platform e-commerce paling populer di Korea Selatan, menawarkan fitur yang mendorong belanja melalui mekanisme permainan.