Brand-brand APAC masuk ke media sosial untuk berinteraksi dengan konsumen
Studi Nielsen menemukan 56% tenaga pemasar APAC menganggap media sosial sebagai saluran yang paling efektif.
Dari iklan tradisional seperti melalui televisi dan radio, strategi pemasaran telah berkembang dan menemukan ruang baru untuk menarik lebih banyak konsumen, yaitu lewat media sosial. Jika brand gagal bersaing secara online, mereka berisiko kehilangan konsumen karena diambil pesaing mereka, menurut pakar pemasaran.
Berdasarkan studi Nielsen, 56% tenaga pemasar di Asia-Pasifik menyebut media sosial sebagai saluran berbayar “paling efektif”, terutama untuk sektor ritel.
Abhinav Maheshwari, Vice President for Marketing Effectiveness Asia-Pasifik di Nielsen, mengatakan platform media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Tiktok menjadi host native marketplace di platform online dan aplikasi seluler.
“Dengan media sosial, bisnis yang memanfaatkan social ads dapat memandu perjalanan konsumen mereka dari sekedar mendapatkan awarness sampai ke konversi pernjualan,” katanya kepada Retail Asia.
Dari 1.943 tenaga pemasar global yang disurvey, 510 di antaranya berasal dari APAC. Studi tersebut menemukan bahwa tenaga pemasar di wilayah tersebut umumnya berencana meningkatkan pengeluaran untuk iklan di semua saluran setidaknya 34%, dan dua kali lipat untuk beberapa saluran digital.
Karena fokus dan investasi untuk anggaran periklanan akan sebagian besar berada di saluran media digital berbayar, peningkatan pengeluaran digital pada tahun depan direncanakan oleh tenaga pemasar APAC; untuk media sosial sebesar 70%, tampilan online dan seluler 68%, dan video online dan seluler 67%.
Sebuah studi oleh platform pengalaman konsumen, Emplifi, menemukan rata-rata pembelanjaan iklan media sosial di Facebook dan Instagram oleh brand APAC menurun sebesar 18,5%, dan brand Asia Tenggara sebesar 10% pada kuartal pertama 2022, menyusul adanya kenaikan selama musim liburan.
Meskipun demikian, belanja iklan naik 8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi US$1.500, sementara di Asia Tenggara naik 20% secara tahunan menjadi US$1.802.
“Tenaga pemasar masih memandang media sosial berbayar sebagai bagian integral dari bauran pemasaran, dan mereka bersedia membayar mahal untuk menjangkau audiens mereka,” kata CMO Emplifi Zarnaz Arlia dalam sebuah pernyataan.
Maheshwari memperingatkan bisnis yang gagal mengintegrasikan media sosial ke dalam strategi pemasaran mereka seperti kehilangan ‘tiket emas’ untuk menjangkau audiens mereka.
Sebuah studi oleh Hootsuite pada tahun 2022 menunjukkan, lebih dari tiga perempat dari pengguna internet berusia 16 hingga 64 tahun menggunakan platform media sosial untuk mencari brand dan produk yang ingin mereka beli.
Oleh karena itu, jika tidak mengintegrasikan sosial media, bagian terbesar dari konsumen potensial mereka akan menjadi audiens yang terpikat oleh para pesaing mereka.
“Media sosial juga semakin berperan sebagai saluran feedback dan layanan konsumen. Melalui ini, bisnis dapat memberikan pengalaman konsumen yang positif, dan berinteraksi dengan konsumen untuk mendorong keterlibatan brand,” katanya.
Beralih dari saluran tradisional
Menurut Nielsen, tenaga pemasar di wilayah tersebut memprioritaskan brand awareness dan akuisisi konsumen, serta pada fokus anggaran iklan mereka yang akan dialokasikan sebagian besar ke saluran media digital berbayar.
51% dari total anggaran periklanan pemasar juga dihabiskan untuk saluran digital berbayar seperti media sosial, online dan mobile video, serta online dan iklan mobile display.
Platform iklan media tradisional condong ke arah membangun brand dan akuisisi konsumen, kata Nielsen. Sekaligus Nielsen juga mencatat tenaga pemasar di wilayah tersebut menghabiskan lebih sedikit pada opsi jangkauan massal, dengan alasan ketidakcocokan antara tujuan dan strategi bisnis utama mereka.
“Dalam hal laba atas investasi (ROI), iklan digital umumnya dianggap lebih murah daripada format tradisional. Selain itu, iklan digital memiliki elemen interaktif melalui fitur komentar dan berbagi yang menciptakan ruang untuk percakapan dua arah dari konten yang dibuat pengguna,” kata Maheshwari.
“Brand juga dapat menikmati fleksibilitas dalam konten mereka melalui iklan digital karena mereka dapat mengedit pengaturan dan postingan mereka di internet,” kata dia menambahkan.
'Pedang bermata dua'
Maheshwari menandai fleksibilitas yang diberikan kepada brand dalam pembelanjaan untuk iklan digital.
“Fleksibilitas dan interaktivitas juga bisa menjadi pedang bermata dua. Lebih banyak interaksi, terkadang menumbulkan komentar negatif, yang berarti lebih sedikit kontrol atas narasi dan sentimen brand, terlebih jika sentimen yang tidak menguntungkan menjadi viral,” katanya.
Memiliki kemampuan untuk mengedit dan menarik kembali pernyataan dan menghapus komentar memberikan celah bagi brand untuk menghindari pertanggungjawaban atas kesalahan, meningkatkan “kekhawatiran tentang keamanan dan kepercayaan brand,” kata dia menambahkan.
Hal ini sejalan dengan temuan Nielsen bahwa konsumen secara global memiliki kepercayaan yang lebih tinggi pada format media tradisional seperti televisi (78%), dan penempatan produk pada program TV (74%), dibandingkan dengan platform iklan digital seperti media sosial (36%) , pencarian online (36%), dan iklan video online (33%).
Mengikuti gelombang media sosial
Munculnya social commerce juga membuat aktivitas belanja menjadi hiburan tersendiri, sebuah pengalaman yang benar-benar mendalam yang dimulai dan diakhiri di platform media sosial,” katanya.
Brand juga harus memanfaatkan format massal untuk memperluas jangkauan audiens. Selain TV, platform streaming langsung, platform over-the-top, video-on-demand, dan TV yang terhubung juga bisa menjadi pilihan.
Berkolaborasi dengan pembuat konten dan influencer media sosial dengan siaran live juga merupakan salah satu cara brand memanfaatkan tren untuk meningkatkan penjualan mereka, kata Maheshwari. Dia mengutip sebuah studi oleh Meta yang menemukan 39% dari keterlibatan e-commerce adalah melalui live e-commerce di platform media sosial.
“Brand tidak boleh mengabaikan video pendek dan pemasaran oleh influencer karena mereka mendapatkan popularitas yang cepat di kawasan ini,” katanya.
Menurut penelitian Nielsen, ingatan sebuah brand dalam konten influencer empat kali lebih kuat daripada di konten digital tradisional.
Demikian juga, Maheshwari mengatakan pengiklan harus mulai mengeksplorasi potensi penggunaan kampanye di acara promosi seperti Mega Sales Day, untuk tujuan jangka panjang seperti membangun afinitas brand yang kuat.
Ada juga faktor lain yang diandalkan brand untuk kampanye iklan mereka. Hampir tiga dari lima atau 57% tenaga pemasar APAC percaya bahwa data pihak pertama penting untuk strategi dan kampanye mereka, di bawah rata-rata global 69%.
Sekitar 75% tenaga pemasar mengatakan mereka memiliki akses ke data berkualitas yang memungkinkan mereka memanfaatkan sepenuhnya dampak anggaran media, menurut Nielsen. Tenaga pemasar APAC juga menilai pentingnya kreativitas iklan dan penargetan audiens lebih tinggi daripada faktor lain dalam mendorong kinerja kampanye yang positif.
Namun, studi tersebut juga menemukan bahwa sekitar 25% tenaga pemasar di wilayah tersebut berjuang dengan berbagai elemen data audiens mereka, yang mencakup akses data, resolusi identitas, dan wawasan data yang dapat ditindaklanjuti.
Memiliki dukungan layanan konsumen juga merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan oleh brand, menurut Emplifi. Mereka menemukan bahwa tingkat respons brand APAC adalah yang tertinggi di Facebook, dengan lebih dari 80% pesan langsung ditanggapi dalam waktu kurang dari satu jam.
Sementara itu, Instagram memiliki tingkat yang lebih rendah pada 45%, dengan waktu respons 4,1 jam, sementara Twitter 71% tetapi memiliki waktu paling lambat yaitu 5,1 jam.
“Konsumen di APAC memiliki ekspektasi yang tinggi dalam hal menerima dukungan konsumen melalui saluran social media, mereka menginginkan tanggapan secara real-time dan waktu tunggu yang lebih singkat untuk mendapatkan solusi dari kebutuhan mereka,” kata Arlia.
"Sementara tingkat respons tinggi di Facebook dan Twitter, merek masih harus berbuat lebih banyak untuk memastikan semua saluran sosial ditangani secara seimbang. Berinvestasi dan meningkatkan layanan social konsumen akan membantu brand mendapatkan dan mempertahankan pangsa pasar," kata dia menambahkan.